Tampilkan postingan dengan label seriteologiliturgi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label seriteologiliturgi. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 09 Maret 2024

Tahun Liturgi




 Mengenal Tahun Liturgi

Apa itu Tahun Liturgi dalam Gereja Katolik?

Tahun Liturgi dalam gereja katolik dirancang agar umat bisa menghidupi Misteri Kristus sepanjang tahun. Tahun liturgi adalah sebuah perjalanan iman yang membawa kita mengikuti jejak Kristus, dari kelahiran-Nya hingga kematian dan kebangkitan-Nya, dan lebih jauh lagi. Berikut perjalanan iman kita selama satu tahun liturgi secara garis besar:

1. Masa Adven: Dimulai dengan Ibadat Sore I menjelang Minggu pertama Adven, masa ini adalah masa persiapan dan penantian yang penuh harap akan kedatangan Kristus. Masa Adven mengajak kita untuk merenungkan kedatangan Kristus, baik dalam inkarnasi-Nya maupun kedatangan-Nya yang kedua kali.

2. Masa Natal: Memulai dengan Ibadat Sore I menjelang Hari Raya Natal, masa ini merayakan misteri Inkarnasi, kelahiran Yesus Kristus, terang dunia yang membawa keselamatan.

3. Masa Biasa: Masa ini mengisi waktu antara masa Natal dan Prapaskah, serta setelah masa Paskah hingga Adven berikutnya. Masa Biasa mengajak kita untuk merenungkan dan menerapkan ajaran Kristus dalam kehidupan sehari-hari.

4. Masa Prapaskah: Dimulai dengan Rabu Abu, masa ini adalah masa pertobatan, dimana umat beriman dipanggil untuk berpaling dari dosa dan kembali kepada Allah.

5. Trihari Suci Paskah: Mulai dari Kamis Putih hingga Minggu Paskah, masa ini adalah puncak perayaan liturgi, mengenang Sengsara, Kematian, dan Kebangkitan Tuhan kita Yesus Kristus.

6. Masa Paskah: Masa ini merayakan Kebangkitan Kristus dan kemenangan-Nya atas dosa dan maut. Masa ini berpuncak pada perayaan Kenaikan Tuhan dan Pentakosta, mengingatkan kita akan hadirnya Roh Kudus.

7. Kembali ke Masa Biasa: Setelah Pentakosta, Gereja kembali memasuki Masa Biasa, mengajak kita untuk terus hidup dalam Roh dan menyebarkan kabar baik hingga masa Adven berikutnya.

Melalui siklus tahunan ini, Tahun Liturgi mengajak kita untuk mengalami dan menghayati misteri keselamatan yang terus berlangsung dalam kehidupan kita, mengubah kita menjadi saksi Kristus yang sejati di dunia. Tahun Liturgi adalah perjalanan transformasi yang tidak hanya mengingatkan kita pada peristiwa sejarah, tetapi membuat kita menjadi bagian dari kisah keselamatan itu sendiri.


© Mysterium Fidei

#seriteologiliturgi

Mengenal Pengertian Liturgi (Bagian 8)


Liturgi adalah Transformational!

Dalam kerangka TB-SRFMT, unsur "Transformational" atau transformasional menjadi aspek penting dalam liturgi. Liturgi tidak hanya tentang melakukan serangkaian ritual atau mengingat peristiwa masa lalu; lebih dari itu, liturgi merupakan proses transformasi, baik secara pribadi maupun komunal.

Mengapa unsur transformasional ini penting dalam liturgi? Ada beberapa alasan utama:

Perubahan Hati dan Pikiran: Salah satu tujuan utama dari liturgi adalah untuk membawa perubahan dalam kehidupan umat beriman. Melalui partisipasi dalam liturgi, hati dan pikiran kita dibentuk kembali. Kita diajak untuk berpaling dari dosa, memperbarui komitmen kita kepada Kristus, dan menjadi lebih terbuka terhadap tuntunan Roh Kudus. Liturgi menjadi sarana di mana kita mengalami pertobatan dan pertumbuhan spiritual.

Merefleksikan Kristus dalam Kehidupan Sehari-hari: Liturgi mengajak kita untuk tidak hanya menjadi pendengar firman Tuhan, tetapi juga pelaksana firman tersebut. Melalui liturgi, kita belajar bagaimana menerapkan ajaran Kristus dalam kehidupan sehari-hari. Ini termasuk menunjukkan kasih, belas kasih, dan keadilan dalam interaksi kita dengan orang lain.

Kekuatan Komunitas: Liturgi juga memiliki aspek transformasional dalam konteks komunal. Saat kita berkumpul sebagai komunitas iman, kita saling mendukung dan memperkuat satu sama lain. Melalui liturgi, komunitas diperbaharui dan diutus untuk menjadi cahaya dan garam dunia, membawa perubahan positif dalam masyarakat.

Penguatan Iman dan Harapan: Setiap perayaan liturgi memberi kita kekuatan dan harapan baru. Di dalam dunia yang sering kali penuh dengan tantangan dan kesulitan, liturgi menjadi sumber kekuatan untuk terus berjuang dan berharap. Ini seperti mengisi ulang baterai spiritual kita, memampukan kita untuk menghadapi apa pun yang mungkin datang.

Bayangkan seorang atlet yang rutin berlatih dan mengikuti program latihan tertentu. Melalui latihan yang konsisten dan terstruktur, atlet tersebut menjadi lebih kuat, lebih cepat, dan lebih terampil. Demikian pula dengan liturgi, melalui partisipasi rutin dan berkomitmen, kita 'dilatih' secara spiritual, menjadi lebih matang dalam iman dan lebih efektif dalam menjadi saksi Kristus di dunia.

Liturgi sebagai proses transformasional menuntut respons aktif dari kita. Ini bukan hanya tentang apa yang kita terima, tetapi juga tentang bagaimana kita menanggapi dan menerapkan apa yang kita alami dalam liturgi ke dalam kehidupan kita. Proses transformasi ini berlangsung seumur hidup dan melibatkan seluruh aspek keberadaan kita.

© Mysterium Fidei

#serispiritualitasekaristi

Mengenal Pengertian Liturgi (Bagian 7)


 Liturgi adalah Memorial!

Dalam konsep Liturgi adalah TB-SRFMT (Tindakan Bersama yang Sakral, Ritual, Formal, Memorial, dan Transformational), dimensi "Memorial" merupakan dimensi penting dalam liturgi. Tapi, apa maksudnya bahwa liturgi adalah sebuah memorial? Liturgi disebut sebagai memorial karena dalam liturgi kita mengenangkan apa yang terjadi di masa yang lalu. Akan tetapi, kenangan dalam liturgi bukan hanya sekedar kenangan di masa lalu saja, tetapi sungguh dihadirkan dan dihidupi kembali saat liturgi tersebut di rayakan.

Tindakan mengenangkan dan sambil menghadirkan kenangan tersebut kini dan di sini, tidak berarti bahwa liturgi adalah sebuah pertunjukan teaterikal atau dramatisasi. Liturgi jauh lebih dalam daripada hanya mencoba mengulang sesuatu yang sudah terjadi di masa lampau dalam sebuah drama dimana terdapat banyak peran di dalamnya. Di dalam liturgi kita tidak berperan sebagai orang lain. Kita hadir sebagai diri kita sendiri, dan kehadiran Tuhan dalam liturgi juga bukan seperti kehadiran dalam seni peran! 

Oleh karena itu, sangat keliru jika kita mencoba mendramatisasi peristiwa-peristiwa liturgi, dengan berbagai bentuk drama-drama singkat. Misalnya: Dalam prosesi Minggu Palma ketika Yesus masuk dengan mengendarai seekor keledai, tidak perlulah kita mendramatisasinya dengan meminta imam kita untuk berarak sambil mengendarai entah keledai, entah kuda, entah sepeda. Tindakan memorial dalam perayaan liturgi djauh lebih mendalam daripada sekedar dramatisasi seperti itu. Oleh karena itu dalam kurban Ekaristi pun, kita tidak mendramatisasi Kristus yang dikorbankan bagi keselamatan kita berkali-kali di altar, karena kurban Kristus adalah kurban yang sudah sempurna dan tidak perlu diulang-ulang.

*© Mysterium Fidei*

#serispiritualitasekaristi

Kamis, 25 Januari 2024

Mengenal Pengertian Liturgi (Bagian 6)

Liturgi adalah Formal!

Dalam konsep TB-SRFMT (Tindakan Bersama yang Sakral, Ritual, Formal, Memorial, dan Transformational), aspek "Formal" sangat penting dalam liturgi. Liturgi dianggap formal karena memang ada aturan-aturan tertentu yang berlaku.

Mungkin timbul pertanyaan, "Apakah lebih baik jika liturgi lebih fleksibel dan tidak terlalu kaku?" Untuk memahami mengapa liturgi bersifat formal, perlu dipertimbangkan dua alasan utama:

1. Liturgi Merayakan Iman: Liturgi adalah ekspresi perayaan iman kita. Oleh karena itu, teks-teks dalam liturgi, yang meskipun tampak formal dan tidak fleksibel, sangat penting karena kita tidak boleh merayakan iman yang salah. Keformalan teks-teks liturgi bertujuan untuk menghindari kesalahan dalam merayakan iman kita.

2. Liturgi sebagai Perayaan Universal: Liturgi adalah salah satu pemersatu Gereja Katolik di seluruh dunia. Baik di Indonesia, Eropa, Amerika, atau mana pun, liturgi dirayakan dengan cara yang sama. Keformalan liturgi inilah yang mempersatukan kita.

Bayangkan acara internasional dengan dress code formal; kita akan membayangkan mode fashion yang seragam. Keformalan dalam liturgi bukan sesuatu yang harus dibenci, tetapi sesuatu yang harus disyukuri karena menjamin kebenaran iman kita dan menjaga kesatuan kita.

Anggaplah liturgi seperti sebuah permainan sepak bola. Dalam sepak bola, ada aturan-aturan yang jelas dan formal yang harus diikuti - seperti aturan offside, cara melakukan tendangan penalti, dan sebagainya. Aturan-aturan ini, meskipun tampak kaku, penting untuk memastikan permainan berlangsung adil dan dapat dinikmati oleh semua pemain dan penonton. Tanpa aturan ini, permainan akan menjadi kacau dan kehilangan esensinya. Demikian pula dengan liturgi, keformalan dan aturan-aturannya membantu menjaga kekudusan, keseragaman, dan kebenaran iman yang kita rayakan bersama.

Inilah adalah cara pandang yang tepat untuk memandang aturan-aturan baku dalam liturgi.

© Mysterium Fidei

#serispiritualitasekaristi

Selasa, 23 Januari 2024

Mengenal Pengertian Liturgi (Bagian 5)



Liturgi adalah Ritual!

Dalam konsep Liturgi adalah TB-SRFMT (Tindakan Bersama yang Sakral, Ritual, Formal, Memorial, dan Transformational), dimensi "Ritual" merupakan dimensi penting dalam liturgi. Tapi, apa maksudnya bahwa liturgi adalah ritual? Liturgi disebut sebagai ritual karena dalam liturgi terdapat begitu banyak simbol.

Sebagai simbolis manusia selalu dikelilingi dengan berbagai macam simbol dalam hidup sehari-hari, misalnya: uang, lampu lalu lintas, zebra cross, dsb. Demikian pula dalam perayaan liturgi ada berbagai macam simbol mulai dari mencelupkan tangan ke air suci ketika masuk gereja, patung-patung orang kudus, jalan salib, dan selama perayaan ekaisti. 

Akan tetapi, karena seringkali tidak mengerti dengan begitu banyak simbol yang ada dalam liturgi, kerapkali simbol-simbol itu dihilangkan atau diubah-ubah dengan alasan demi kepraktisan dan efisiensi baik waktu maupun materi. Misalkan: Ketika bacaan kitab suci dibacakan, itu adalah simbol bahwa Allah yang sedang berbicara secara langsung kepada kita umatnya dalam posisi duduk (yang maknanya siap mendengarkan). Akan tetapi, banyak kali justru sikap duduk dimaknai sebagai waktu istirahat, sehingga ketika duduk banyak umat yang justru menggunakannya untuk memeriksa atau menggunakan ponsel dan tidak sadar bahwa Allah sedang berbicara kepada mereka.

Oleh karena itu, beberapa hal dapat kita lakukan untuk meningkatkan kesadaran kita bahwa liturgi adalah sebuah ritual yang kompleks dan bermakna:

1. Ikutilah tata cara liturgi yang ada dengan setia.

2. Berusahalah untuk memperkaya diri Anda dengan pemahaman makna dan simbol-simbol ritual dalam liturgi entah dengan bertanya atau melalui buku atau internet agar semakin bisa menghargai simbol-simbol ritual dalam liturgi

3. Sadarlah dengan apa yang Anda ucapkan atau doakan dalam liturgi. Misalnya: entah sudah berapa kali kita mendoakan Bapa Kami atau Salam Maria, tetapi berapa dari kita yang sungguh memahami maknanya.


© Mysterium Fidei

#serispiritualitasekaristi

Untuk bergabung dengan grup 'Mysterium Fidei' (Info liturgi untuk umat), cukup klik di sini.

Senin, 22 Januari 2024

Mengenal Pengertian Liturgi (Bagian 4)



Liturgi adalah Sakral!

Liturgi adalah Tindakan Bersama yang Sakral, Ritual, Formal, Memorial dan Transformational (TB-SRFMT).

Mengapa Liturgi disebut Sakral (Suci)? Alasan utama yang menjadikan mengapa liturgi itu sakral adalah karena Allah hadir dalam perayaan liturgi tersebut. Allah hadir dalam perayaan liturgi karena Ia ingin menguduskan (sanctifikasi) manusia, sedangkan manusia menyambut anugerah penyucian dari Allah ini dengan memuji dan memuliakan nama Allah (glorifikasi).

Kehadiran Allah inilah yang jelas membedakan perayaan liturgi dengan perayaan-perayaan lainnya. Oleh kaena itu, tujuan utama dalam kegiatan liturgi adalah untuk memuji dan memuliakan Tuhan dan bukan yang lain. Sayangnya seringkali baik imam maupun umat tergoda untuk membuat tujuan baru dalam perayaan liturgi. Banyak ide-ide baru seputar liturgi memiliki tujuan hanya sekedar supaya perayaan liturgi lebih meriah dan menarik secara manusiawi, dan justru kadang membuat tujuan asli dari liturgi untuk memuliakan Allah menjadi bergeser.


Oleh karena itu, beberapa hal yang perlu kita ingat agar kita menjaga kesakralan dalam liturgi:

1. Para imam harus ingat bahwa dirinya adalah pelayan sakramen. Yang mereka layani adalah Allah yang ingin bertemu dengan umatnya. Perayaan liturgi harus disusun agar Umat dapat bertemu dengan Allahnya sesiap mungkin.

2. Persiapkan dengan baik kehadiran Anda dalam perayaan liturgi. Jika akan bertemu dengan pejabat saja Anda tepat waktu dan berpakaian pantas, bagaimana mungkin dalam perayaan liturgi, ketika Anda akan bertemu dengan Allah, anda tidak hadir tepat waktu dan berpakaian pantas.

3. Jagalah sikap hormat dan keheningan dalam perayaan liturgi. Masukilah ruangan gereja dengan tenang dan berdoalah. Jagalah diri Anda dari pembicaraan-pembicaraan dengan suara keras yang dapat mengganggu orang-orang yang sedang berbicara dengan Tuhannya (berdoa) di sekeliling Anda.

© Mysterium Fidei

#serispiritualitasekaristi

Untuk bergabung dengan grup 'Mysterium Fidei' (Info liturgi untuk umat), cukup klik di sini.

Mengenal Pengertian Liturgi (Bagian 3)



Liturgi adalah .... Sebuah Tindakan Bersama!

Jika definisi liturgi yang yuridis dan estetis ditolak oleh Gereja, lalu bagaimana seharusnya kita mengerti "Apa itu Liturgi?" 

Pertama-tama, harus dipahami bahwa setiap definisi pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Dokumen gereja banyak menuliskan definisi-definisi yang beraneka ragam tentang liturgi yang menekankan berbagai makna teologisnya. Akan tetapi, bagi kita sekarang saya ingin menekankan sebuah definisi liturgi. Saya ingin memperkenalkan sebuah definisi yang sekiranya cukup mudah untuk diingat, yakni: Liturgi adalah Tindakan Bersama yang Sakral, Ritual, Formal, Memorial dan Transformational (TB-SRFMT). Pengertian ini akan kita bahas satu-persatu.

Liturgi adalah sebuah Tindakan Bersama. Liturgi adalah sebuah perayaan iman bersama, dan bukan perseorangan. Oleh karena itu, semua yang ikut dalam liturgi diundang untuk berpartisipasi secara aktif, karena liturgi bukan sebuah pertunjukan/tontonan. Dalam liturgi, semua orang diundang untuk terlibat melalui nyanyian, doa, mendengarkan dan merespons. Oleh karena itulah dalam liturgi, ada banyak hal yang diciptakan agar semua orang bisa berpartisipasi aktif, seperti: tata gerak, musik dan nyanyian, dialog respon antara imam dan umat. Oleh karena itu, prinsip utama yang harus dipedang dalam liturgi adalah segala hal, yang menghalangi partisipasi umat harus dihindari.

Beberapa contoh hal kecil yang dapat dilihat kembali untuk mendukung partisipasi umat:

- Penataan Gereja, khususnya bangku umat. Banyak Gereja sungguh-sungguh mengejar kapasitas gereja yang benar-benar maksimal. Oleh karena itu, tidak jarang bangku-bangku disusun demikian rapatnya sehingga orang jadi tidak nyaman lagi untuk berdiri, berlutut dan melakukan gerakan liturgis lainnya.

- Dalam dialog antara imam dan umat, hendaknya masing-masing sungguh menyadari bagiannya masing-masing dan tidak saling mengambil bagian satu sama lain. Misalnya: Ketika membuat tanda salib di awal perayaan ekaristi, Imam mengatakan "Dalam nama Bapa, dan Putra dan Roh Kudus". Hendaknya imam menahan diri dan membiarkan umat menjawab "Amin" karena itu adalah bagian penting dalam dialog tersebut, walaupun sangat singkat.

- Pemilihan lagu yang akan dinyanyikan dalam perayaan ekaristi. Variatio semper delectat, (Variasi itu selalu menyenangkan). Lagu baru memang selalu menyenangkan untuk dibawakan, karena menghadirkan nuansa baru dalam peribadatan. akan tetapi, dalam memilih lagu, hendaknya disesuaikan antara lagu yang baru dan lagu yang sudah biasa dipakai, agar umat yang hadir tidak hanya menjadi penonton saja.


© Mysterium Fidei

#serispiritualitasekaristi

Untuk bergabung dengan grup 'Mysterium Fidei' (Info liturgi untuk umat), cukup klik di sini.

Sabtu, 20 Januari 2024

Mengenal Pengertian Liturgi (Bagian 2)



Apa Itu Liturgi? Sebuah Seni? Sebuah Keindahan?

Liturgi sering dipandang lebih dari sekedar rutinitas ibadah. Bagi banyak orang, itu adalah "ilmu tingkat tinggi", ekspresi kesalehan agung, bahkan setara dengan karya seni. Seperti pengalaman mengunjungi galeri seni yang memukau, liturgi bisa menjadi oasis penyegaran, pelarian dari kelelahan sehari-hari, mirip dengan ketenangan yang dirasakan saat berjalan di taman.

Namun, pandangan estetis ini punya batasan. Dalam ekstremnya, orang-orang yang mengadopsi definisi estetis ini melihat liturgi semata-mata sebagai pengalaman yang membangkitkan rasa kesalehan - "_Yang penting nyeesss... di hati._" Liturgi sempurna bagi mereka adalah perayaan dengan 'kemasan' yang mengagumkan, layaknya konser musik yang memukau tetapi tanpa pemahaman mendalam tentang esensinya. Ekstrem ini sering jatuh ke dalam "museum-isme" - pandangan bahwa liturgi masa lalu selalu lebih baik dan tidak mengakui perubahan ekspresi iman, dan "glamorisme" - fokus pada aksesoris dan dekorasi yang mencolok, mengabaikan bahwa Tuhan bisa hadir dalam kesederhanaan.

Mereka cenderung kurang memperhatikan ekspresi iman yang berkembang dari waktu ke waktu atau ajaran gereja yang mewujud dalam liturgi. Yang utama bagi mereka adalah liturgi yang menyentuh hati dan memuaskan rasa kehausan spiritual.

Pandangan estetis yang sempit ini telah *DITOLAK* oleh Paus Pius XII dalam ensiklik Mediator Dei sejak tahun 1947. Liturgi bukan hanya 'pameran seni rohani' atau 'konser ibadah', melainkan pertemuan yang mendalam dan berarti antara umat dengan Tuhan.


© Mysterium Fidei

#serispiritualitasekaristi

Untuk bergabung dengan grup 'Mysterium Fidei' (Info liturgi untuk umat), cukup klik di sini.

Mengenal Pengertian Liturgi (Bagian 1)

 


Apa Itu Liturgi? Sebuah Aturan?


Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan liturgi sebagai “ibadat umum di gereja” atau “tata cara kebaktian”. Definisi ini mungkin sering kita pikirkan dalam keseharian kita tentang liturgi: serangkaian aturan yang kaku dalam perayaan ekaristi. Banyak yang menganggap liturgi sebagai sesuatu yang tidak fleksibel. Bahkan, ada candaan yang mengatakan, _lebih mudah berdiskusi dengan teroris daripada dengan seorang liturgis (ahli liturgi)_.

Diskusi tentang liturgi sering kali penuh debat panjang, mencerminkan betapa eratnya liturgi dengan kehidupan rohani kita. Situasi ini jarang terjadi dalam pembahasan kitab suci atau dogma, seperti misteri Tritunggal.

Tak jarang, banyak yang merasa takut melakukan liturgi karena khawatir salah, dan lebih takut lagi terhadap kritik dan saran dari mereka yang dianggap paham liturgi. Para imam pun seringkali tidak terhindar dari rasa takut ini. Tetapi hal ini sangat alamiah, karena manusia memang cenderung takut kepada sesuatu yang tidak mereka pahami.

Rasa takut ini timbul ketika liturgi didefinisikan dengan mentalitas yuridis atau hukum. Dalam pandangan seperti ini, ahli liturgi dipandang sebagai pengendali upacara liturgi, yang hafal semua aturan peribadatan. Umat seringkali menganggap bahwa semua imam secara otomatis adalah ahli liturgi, padahal kenyataan sebenarnya juga tidak demikian. 

Pandangan untuk melihat liturgi melulu dari dimensi yuridis semacam ini telah *DITOLAK* oleh Paus Pius XII melalui ensiklik Mediator Dei sejak tahun 1947.


© Mysterium Fidei

#seristeologiliturgi

Untuk bergabung dengan grup 'Mysterium Fidei' (Info liturgi untuk umat), cukup klik di sini.

Selasa, 12 Desember 2017

SEJARAH HARI RAYA NATAL




Banyak orang Katolik berpikir bahwa orang Kristiani merayakan kelahiran Kristus pada tanggal 25 Desember karena para Bapa Gereja menyesuaikan tanggal tersebut dengan tanggal perayaan sebuah festival pagan. Hampir tidak ada orang Katolik yang keberatan dengan pendapat ini, walaupun konsekuensinya adalah banyak orang yang menyamakan Hari Raya Natal dengan sebuah festival pagan yakni Festival Dewa Matahari.

Tulisan ini bermaksud menunjukkan sebuah fakta yang menarik untuk diketahui yakni bahwa pilihan tanggal 25 Desember adalah hasil usaha orang-orang Kristen awal untuk mengetahui tanggal kelahiran Yesus berdasarkan penghitungan kalender yang justru sama sekali tidak ada hubungannya dengan festival pagan.

Sebaliknya, festival pagan "Birth of the Unconquered Sun" yang dicanangkan oleh Kaisar Romawi Aurelian pada tanggal 25 Desember 274, hampir pasti merupakan upaya untuk menciptakan alternatif festival tandingan bagi tanggal yang sudah sangat penting bagi orang Kristiani.

Dengan demikian argumen bahwa Hari Raya Natal berasal dari sebuah Festival Pagan adalah mitos tanpa substansi sejarah.

Sebuah Kesalahan
Gagasan bahwa tanggal 25 Desember diambil dari perayaan pagan berasal dari dua orang ilmuwan dari akhir abad ketujuh belas dan awal abad kedelapan belas. Paul Ernst Jablonski, seorang Protestan Jerman, yang ingin menunjukkan bahwa perayaan kelahiran Kristus pada tanggal 25 Desember adalah satu dari sekian banyak "paganisasi" yang dibuat oleh Gereja Katolik.

Dalam kalender Julian, yang dibuat di bawah pemerintahan Julius Caesar pada 45 SM, titik balik matahari musim dingin jatuh pada tanggal 25 Desember, dan oleh karena itu tampak jelas bagi Jablonski bahwa hari itu pasti memiliki makna pagan sebelum menjadi perayaan orang Kristiani. Tapi sebenarnya, tanggal tersebut tidak memiliki makna religius dalam kalender perayaan Romawi sebelum masa Aurelian.

Kaisar Aurelian, yang memerintah dari 270 sampai pembunuhannya di tahun 275, sangat memusuhi orang Kristiani dan tampaknya telah mempromosikan penetapan festival "Kelahiran Matahari yang Tidak Terkalahkan" sebagai alat untuk menyatukan berbagai sekte pagan dari Kekaisaran Romawi.

Produk sampingan
Memang benar bahwa bukti pertama orang-orang Kristiani merayakan tanggal 25 Desember sebagai tanggal kelahiran Tuhan berasal dari Roma beberapa tahun setelah Aurelian, yakni pada tahun 336 AD, namun ada bukti dari Timur Yunani dan dunia Barat bahwa orang-orang Kristiani pada jaman sebelum itu sudah berusaha untuk mencari tahu tanggal kelahiran Kristus jauh sebelum mereka mulai merayakannya secara liturgis, bahkan sudah sejak abad kedua dan ketiga. Bukti menunjukkan, pada kenyataannya, bahwa penetapan tanggal 25 Desember adalah produk sampingan dari usaha untuk menentukan kapan orang Kristiani harus merayakan kematian dan kebangkitan Kristus.

Bagaimana hal ini bisa dijelaskan? Ada pertentangan yang tampak antara tanggal kematian Tuhan seperti yang diberikan dalam Injil Sinoptik dan Injil Yohanes. Injil Sinoptik berpendapat bahwa Kematian Yesus terjadi pada Hari Paskah (setelah Tuhan merayakan Paskah pada malam sebelumnya), dan sebaliknya Injil Yohanes berpendapat bahwa Yesus wafat pada Malam Paskah, saat anak-anak domba Paskah disembelih di Bait Suci Yerusalem untuk merayakan hari raya keesokan harinya.

Untuk dapat memecahkan masalah ini mau tidak mau kita harus berbicara soal perdebatan tentang Perjamuan Terakhir Tuhan adalah makan Paskah atau makan yang dirayakan sehari sebelumnya. Akan tetapi agar tidak terlalu luas, pembahasan tentang hal ini tidak akan dijelaskan dalam tulisan ini. Cukuplah dikatakan bahwa Gereja mula-mula mengikuti Injil Yohanes dan bukan Injil sinoptik, dan dengan demikian Gereja Perdana percaya bahwa kematian Kristus terjadi pada 14 Nisan, menurut kalender lunar Yahudi. Para ilmuwan modern sependapat bahwa kematian Kristus hanya bisa terjadi pada tahun 30 atau 33 Masehi, karena keduanya adalah satu-satunya tahun saat 14 Nisan itu jatuh pada hari Jumat. Jadi, kemungkinan besar tanggal kematian Yesus adalah 7 April 30 atau 3 April 33.

Namun, karena Gereja perdana dipisahkan secara paksa dari Yudaisme, maka Gereja Perdana harus memasuki sebuah dunia dengan kalender yang berbeda, dan harus memikirkan waktunya sendiri untuk merayakan Sengsara Tuhan, paling tidak untuk menjadi terlepas dari perhitungan rabbinik pada tanggal Paskah. Mereka tidak bisa lagi menggunakan kalender Yahudi karena kalender Yahudi adalah kalender lunar yang terdiri dari dua belas bulan, tiga puluh hari untuk masing-masing, yang setiap beberapa bulan ke tiga belas harus ditambahkan dengan sebuah keputusan dari Sanhedrin untuk menjaga kalender tetap sinkron dengan ekuinoks dan solstis, dan juga untuk mencegah musim "menyimpang" ke bulan yang tidak tepat.

Orang-orang Kristiani di Yunani tampaknya ingin menemukan tanggal yang setara dengan 14 Nisan dalam kalender matahari mereka sendiri, dan karena Nisan adalah bulan di mana equinox musim semi terjadi, mereka memilih hari ke 14 Artemision, bulan di mana equinox musim semi selalu jatuh dalam kalender mereka sendiri. Sekitar tahun 300 M, kalender Yunani digantikan oleh kalender Romawi, dan sejak tanggal permulaan dan akhir bulan di kedua sistem ini tidak bersamaan, 14 Artemision menjadi 6 April. Sebaliknya, orang kristiani di Roma dan Afrika Utara tampaknya berkeinginan untuk menetapkan tanggal historis di mana Tuhan Yesus mati. Mereka akhirnya menyimpulkan bahwa Yesus meninggal pada hari Jumat, 25 Maret 29. Sampai pada titik ini akhirnya Gereja Timur menetapkan kematian Yesus pada tanggal 6 April, sedangkan di Barat, 25 Maret. Mengapa berbeda? Sekali lagi, karena mereka memakai sistem kalender yang berbeda pula.

Usia Integral
Pada Jaman Kristus dahulu, ada sebuah kepercayaan bernama “Usia Integral” yang sangat tersebar secara luas dalam Yudaisme dan kepercayaan ini hidup dalam kesadaran orang-orang Kristen. Kepercayaan ini sangat berkaitan dengan nabi-nabi besar bangsa Yahudi. Mereka percaya bahwa nabi-nabi Israel meninggal pada tanggal yang sama dengan tanggal kelahiran atau tanggal konsepsi (pembuahan) mereka. Kepercayan “Usia Integral” ini adalah faktor kunci dalam memahami bagaimana akhirnya orang kristiani perdana mula-mula percaya bahwa tanggal 25 Desember adalah tanggal kelahiran Kristus. Orang-orang kristiani menerapkan gagasan ini kepada Yesus, sehingga tanggal 25 Maret dan 6 April tidak hanya merupakan tanggal kematian Kristus, tapi juga merupakan tanggal konsepsi Yesus. Ada beberapa bukti singkat bahwa setidaknya beberapa orang Kristen abad pertama dan kedua memikirkan tanggal 25 Maret atau 6 April sebagai tanggal kelahiran Kristus, namun pada akhirnya mereka menetapkan bahwa 25 Maret adalah tanggal konsepsi Kristus. Sampai hari ini secara universal bahwa pada tanggal 25 Maret Gereja Universal merayakan Hari Raya Kabar Sukacita, yakni ketika Malaikat Gabriel membawa kabar baik tentang kelahiran penyelamat manusai kepada Perawan Maria. Karena Fiat Maria yang berserah pada kehendak Firman Allah yang Kekal akhirnya Sabda segera berinkarnasi dalam rahimnya. Oleh karena itulah 25 Maret akhirnya menjadi saat Konsepsi (Pembuahan) Yesus.

Berapa lama kehamilan yang normal? Sembilan bulan. Maka kemudian, orang Kristiani menambahkan sembilan bulan dari 25 Maret dan akhirnya didapatkanlah tanggal 25 Desember. Jika kita menambahkan 9 bulan dari tanggal 6 April, maka kita akan mendapatkan 6 Januari.

Dengan demikian, ditetapkanlah tanggal 25 Desember adalah Natal, dan 6 Januari adalah Epifani. Natal (25 Desember) adalah Pesta Kelahiran Yesus untuk orang-orang Kristiani Ritus Barat. Di Konstantinopel ketetapan ini diperkenalkan pada tahun 379 atau 380 dalam sebuah khotbah St. Yohanes Krisostomus. Perayaan Natal ini pertama kali dirayakan di sana pada tanggal 25 Desember 386. Dari pusat-pusat kekristenan ini menyebar ke seluruh Asia Timur dan diadopsi di Alexandria sekitar tahun 432 dan di Yerusalem satu abad atau lebih kemudian. Sementara itu, orang-orang Kristiani dari ritus Armenia sampai hari ini merayakan kelahiran Kristus, kunjungan orang majus, dan pembaptisan Yesus pada tanggal 6 Januari.

Gereja-gereja Barat, pada gilirannya, secara bertahap mengadopsi pesta Epiphany (6 Januari) dari GEreja Timur, Roma melakukannya sekitar 366 dan 394. Namun di Gereja Barat, pesta tersebut pada umumnya dijadikan sebagai peringatan kunjungan orang majus ke bayi Kristus, dan karena itu, perayaan ini adalah sebuah pesta penting, tapi bukan salah satu yang paling penting – hal ini sangat bertolak belakang secara kontras dengan arti pentingnya di Gereja Timur, di mana hari ini menjadi pesta terpenting Gereja Timur yang kedua, setelah Pascha (Paskah).

Pesta Kristen
Jadi, penetapan tanggal 25 Desember menjadi tanggal kelahiran Kristus sama sekali tidak dipengaruhi oleh budaya pagan. Penetapan ini timbul dari usaha orang-orang kristiani awal untuk menentukan tanggal historis kematian Kristus.


Dan justru sebaliknya, pesta pagan yang dicanangkan Kaisar Aurelian pada tanggal 274 itu bukan hanya upaya untuk menggunakan titik balik matahari musim dingin untuk memperkuat kekuasaan politiknya, tapi juga hampir pasti merupakan usaha untuk memberi makna pagan kepada tanggal yang sudah menjadi tanggal penting bagi orang-orang kristiani di Roma dengan harapan bahwa orang-orang kristiani dapat kembali menjadi pagan.