Rabu, 17 Januari 2018

Apakah Awam boleh berkhotbah dalam liturgi?




Ada sebuah pertanyaan:
Dalam sebuah misa penutupan suatu retret yang diadakan di hotel/villa, homili diisi dengan kesaksian peserta retret. Apakah ini sebuah pelanggaran liturgi? Apakah Awam boleh berkhotbah dalam liturgi?

Pertama-tama harus dibedakan antara Homili dan khotbah (preaching). Kan 767 par 1 menyatakan bahwa, "Di antara bentuk-bentuk khotbah, homililah yang paling unggul, yang adalah bagian dari liturgi itu sendiri dan direservasi bagi imam atau diakon"

Dari Kanon itu bisa ditarik kesempulan berikut:

Homili adalah :
1. salah satu bentuk khotbah
2. merupakan bagian dari liturgi
3. homilii hanya bisa dilakukan oleh Imam atau Diakon dalam perayaan Liturgi.

Kedua, Kanon 766 memberi peluang kepada kaum Awam untuk berkhotbah. Bunyinya, "Kaum awam dapat diperkenankan untuk berkhotbah di dalam gereja atau ruang doa, jika dalam situasi tertentu kebutuhan menuntutnya atau dalam kasus-kasus khusus manfaat menganjurkannya demikian, menurut ketentuan-ketentuan Konferensi para Uskup dengan tetap mengindahkan kan. 767, § 1." Kanon ini diperkuat dengan berbagai macam teologi yang bisa menjadi dasar kaum awam untuk berkhotbah. Misalnya: Kanon 225 par 1, LG 33, dan AG 21. Ingat bahwa ini adalah "berkhotbah" bukan berhomili.

Dari dua ketentuan ini bisa disimpulkan beberapa hal di bawah ini:

1. Homili adalah salah satu bentuk khotbah dalam liturgi, yang diberikan oleh kaum tertahbis, atau paling tidak dibacakan atas nama kaum tertahbis yang mempunyai otoritas. Jadi ketika seorang tertahbis berkhotbah dalam liturgi, ini disebut homili. Ketika seorang tertahbis berkhotbah di luar liturgi, ini tidak bisa disebut sebagai homili, karena tidak sesuai dengan ketentuan dalam kanon.

2. Lebih lanjut lagi,, Awam tidak bisa memberikan homili. Jika ada awam yang memberikan kesaksian dalam perayaan liturgi maka hal itu tidak bisa disebut sebagai HOMILI, melainkan hanya sebuah renungan, penjelasan Injil, kesaksian atau apapun itu namanya.

Oleh karena itu menurut saya implikasi liturgis yang bisa disimpulkan adalah:

1. Jika ada seorang awam yang membacakan sebuah homili yang ditulis oleh seorang klerus (misalnya: Romo Parokinya) karena ia berhalangan untuk menyampaikannya sendiri, maka hal ini tetap disebut sebagai homili karena naskah yang ditulis dipersiapkan oleh klerus yang mempunyai otoritas dan disampaikan dalam kesempatan liturgi. Misalnya: naskah homili buatan romo paroki yang dibacakan oleh asisten imam ketika mengantarkan komuni untuk orang sakit.

2. Seorang awam bisa berkhotbah sebagai tambahan dari homili imam/diakon pada hari minggu atau kesempatan-kesempatan tertentu. Praktik yang sering terjadi ialah imam selebran memberikan homilyang singkat sebelum awam memberikan khotbah/kesaksian/renungannya. Dalam kasus ini homili tidak dihilangkan, namun sekedar menambahkan kesaksian dari umat beriman dalam kesempatan-kesempatan khusus. (Misalnya: rekoleksi, retret, atau Misa Ulang Tahun Perkawinan, dsb).


Yang justru berpotensi menjadi pelanggaran liturgi menurut pertanyaan di atas adalah justru pelaksanaan Perayaan Ekaristi di luar tempat-tempat suci yang belum mengantongi ijin dari ordinaris local (Kanon 932). Namun untuk hal ini tidak akan di bahas dalam kesempatan ini.