Tampilkan postingan dengan label Katekese Liturgi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Katekese Liturgi. Tampilkan semua postingan

Rabu, 17 Januari 2024

Perbedaan antara Devosi dan Misa (Bagian 4)



Perbedaan antara Devosi dan Misa (Bagian 4)

Untuk menggambarkan pentingnya tidak mencampuradukkan Misa (liturgi) dengan devosi pribadi, kita bisa menggunakan perumpamaan makan malam keluarga dan makan malam di restoran:

Bayangkan dua situasi makan malam. 

Pertama, makan malam keluarga di rumah, di mana setiap anggota keluarga mungkin memilih menu makanan sendiri, mungkin ada yang makan sambil menonton TV, atau sambil membaca buku. Ini mirip dengan devosi pribadi, di mana setiap orang memiliki kebebasan untuk melakukan aktivitas rohani sesuai pilihan dan selera pribadi mereka.

Situasi kedua adalah makan malam di restoran mewah dengan aturan dan etiket tertentu. Di sini, semua tamu diharapkan mengikuti tata cara yang telah ditetapkan: duduk dengan rapi, memilih makanan dari menu yang sama, dan mengikuti urutan hidangan yang disajikan oleh pelayan. Tidak ada ruang untuk aktivitas pribadi seperti membaca buku atau menonton TV. Situasi ini menggambarkan Misa, di mana semua umat diharapkan mengikuti tata liturgi yang telah ditetapkan Gereja, dengan fokus yang sama dan partisipasi bersama dalam sakramen.

Perumpamaan ini menunjukkan bahwa sementara devosi pribadi (makan malam keluarga) memberikan fleksibilitas dan ruang pribadi, Misa (makan malam di restoran mewah) memerlukan keseragaman dan partisipasi kolektif. Mencampuradukkan keduanya, seperti melakukan devosi pribadi di tengah-tengah Misa, sama tidak tepatnya dengan membawa buku atau tablet ke restoran mewah untuk membaca sambil makan. Kedua aktivitas memiliki tempat dan waktunya masing-masing yang harus dihormati.


*©️ Mysterium Fidei*

#serispiritualitasekaristi

Untuk bergabung dengan grup 'Mysterium Fidei' (Info liturgi untuk umat), cukup klik di sini.

Perbedaan antara Devosi dan Misa (Bagian 3)



Perbedaan antara Devosi dan Misa (Bagian 3)


Mengapa pembedaan antara Devosi dan Misa ini penting?

Pembedaan antara Devosi dan Misa menjadi semakin penting sejak Pembaharuan Liturgi dalam Konsili Vatikan II. Sebelum Konsili Vatikan II, pelaku utama dalam Misa ketika itu adalah imam dan para pembantunya di sekitar altar saja. Semua bacaan dan doa memakai bahasa latin yang banyak tidak dipahami oleh umat. Bahkan, pada beberapa bagian doa (seperti Doa Syukur Agung misalnya), doa tersebut harus didoakan dengan berbisik dan tidak boleh dengan suara lantang. Hal tersebut ditambah lagi dengan pada saat itu saat merayakan Ekaristi, imam dan umat sama-sama menghadap ke timur, sehingga umat hanya bisa melihat punggung dari imam tersebut. Hanya beberapa kali saja ketika imam mengucapkan _Dominus Vobiscum_ (Tuhan bersamamu) dan beberapa kesempatan lain, imam membalikkan badannya dan menghadap umat.

Karena umat pada saat itu tidak paham apa yang diucapkan oleh imam dan juga tidak tahu apa yang terjadi di Altar (karena tidak kelihatan), oleh karena itu umat pun berusaha menyibukkan diri masing-masing dengan devosi-devosi yang mereka lakukan dari tempat duduk masing-masing. Sambil menantikan komuni, ada yang mengisi "kekosongan waktu" itu dengan doa rosario, novena, dan doa-doa devosi lainnya. Akibatnya, perayaan liturgi bercampur dengan "devosi-devosi" yang dilakukan oleh umat sendiri-sendiri. Jadi, Imam misa sendiri dan umat juga sibuk sendiri dengan devosinya masing-masing.

Sesudah Konsili Vatikan II, Gereja membaharui banyak hal dalam Misa sehingga umat bisa terlibat secara aktif. Doa dan Nyanyian diperbolehkan dalam bahasa masing-masing, imam menghadap ke umat sehingga umat sudah bisa melihat secara langsung apa yang terjadi di Altar. Dari awal hingga akhir ekaristi, umat sudah bisa memahami apa yang sedang didoakan imam dan perikop kitab suci apa yang sedang dibacakan. Dari awal hingga akhir gerak gerik imam di sekitar altar sudah bisa dilihat dengan jelas. Semua ini dilakukan agar umat sungguh bisa mengikuti misa dengan kesadaran penuh dan aktif dalam perayaan ekaristi. 

Oleh karena itu, kurang tepat rasanya jika dalam perayaan ekaristi hari ini kita masih membawa devosi di dalamnya meskipun itu dilakukan sendiri-sendiri, misalnya: berdoa rosario di tengah-tengah perayaan ekaristi, dsb. 


*©️ Mysterium Fidei*

#serispiritualitasekaristi

Untuk bergabung dengan grup 'Mysterium Fidei' (Info liturgi untuk umat), cukup klik di sini.


Perbedaan antara Devosi dan Misa (Bagian 2)



Perbedaan antara Devosi dan Misa (Bagian 2)

Saat ini, kita sering menemukan tantangan ketika orang-orang cenderung membawa unsur-unsur devosi ke dalam Liturgi. Ada kecenderungan untuk tidak membedakan antara momen devosi dan saat-saat Liturgi. Kita harus waspada terhadap kecenderungan halus ini.

Ingatlah ketika kita berdoa dalam Liturgi, "doa pujian kami tidak menambah apa-apa pada kebesaran-Mu, Tuhan", kita sedang diingatkan bahwa di dalam Liturgi, bukan aksi kita yang membuat Misa menjadi indah atau bermakna.

Berbeda dengan devosi kesalehan populer yang melibatkan emosi dan perasaan kita, Misa fokusnya berbeda. Misa bukan tentang kita, tetapi tentang Tuhan. Bukan tentang apa yang kita lakukan di hadapan Tuhan, melainkan apa yang Tuhan lakukan untuk kita.

Untuk menggambarkannya, bayangkan dalam Misa kita seperti penonton aktif yang menyaksikan pemain bola terbaik beraksi di lapangan (seperti Messi atau pemain hebat lainnya 😇). Kita terlibat penuh, aktif, dan sadar dalam 'permainan' (Misa) melalui partisipasi kita (berdiri, bernyanyi, berlutut, menjawab doa, dll), namun selalu ingat bahwa bukan kita yang 'mencetak gol'.

Seperti dalam sebuah film, Misa adalah 'Produksi Khusus' dari Tuhan. Dia adalah Produser Eksekutif. Peran kita adalah untuk 'memainkan bagian' yang ditugaskan kepada kita, entah sebagai imam, lektor, pemazmur, atau umat. Semua terlibat secara sadar, penuh, dan aktif, dan tidak ada yang hanya sekadar menjadi pemirsa. Kehadiran umat bukanlah seperti pemirsa televisi yang duduk diam saja, tetapi diharapkan sungguh umat menghayati peran mereka dengan memberikan respon tanggapan terhadap ajakan imam, berdiri, duduk, dan bernyanyi.


Itulah Misa.


*©️ Mysterium Fidei*

#serispiritualitasekaristi

Untuk bergabung dengan grup 'Mysterium Fidei' (Info liturgi untuk umat), cukup klik di sini.

Perbedaan antara Devosi dan Misa (Bagian 1)



Perbedaan antara Devosi dan Misa (Bagian 1)

Bayangkan liturgi seperti upacara kenegaraan Indonesia. Setiap elemen dalam upacara ini memiliki tempat dan urutan yang jelas dan diatur sesuai dengan protokol yang sangat terstruktur. Begitu pula dengan liturgi; kita mengikuti tata cara yang ditetapkan oleh Gereja, bukan berdasarkan keinginan pribadi kita.

Gereja membedakan antara perayaan liturgi dan berbagai bentuk devosi. Dalam devosi seperti Legio Maria, pertemuan Kharismatik, doa rosario, devosi Gua Maria, atau doa Kerahiman Ilahi, Gereja memberi kesempatan kepada umat untuk mengekspresikan devosi mereka dengan berbagai cara sesuai pilihan mereka.

Namun, perlu diingat, tindakan-tindakan devosional ini tidak bisa diterapkan ketika kita memasuki perayaan liturgi, seperti dalam Perayaan Ekaristi Kudus.

Perayaan Ekaristi adalah momen yang unik dan berbeda dari doa pribadi atau aktivitas gerejawi lainnya. Seperti upacara bendera yang memiliki tatanan, keresmian, dan aturan, demikian pula dalam Misa. Kita mungkin memiliki kebebasan dalam berdoa secara pribadi atau dalam kelompok, namun dalam Misa, kita semua bersatu dalam satu tata cara yang sama.


*©️ Mysterium Fidei*

#serispiritualitasekaristi

Untuk bergabung dengan grup 'Mysterium Fidei' (Info liturgi untuk umat), cukup klik di sini.

Mengapa ekaristi kadang rasanya membosankan?



Mengapa ekaristi kadang rasanya membosankan?

Bisakah kita memodifikasinya agar menjadi lebih meriah?


Perayaan ekaristi berasal dari bahasa Yunani eucharistia, yang artinya Puji Syukur. Oleh karena itu sebenarnya fokus kita dalam perayaan Ekaristi adalah mengucap syukur kepada Tuhan atas segala kelimpahan rahmat yang telah diberikan kepada kita. Pada saat itu, Kita berterima kasih kepada Tuhan. 

Anehnya, dalam kesempatan itu seringkali kita masih mencari kesenangan diri. Kita sering berpikir, bagaimana supaya saat berterima kasih itu (perayaan ekaristi) tidak membosankan dan bisa menjadi lebih meriah agar kita pun juga senang. Padahal sebenarnya yang perlu kita pikirkan adalah bagaimana kita bisa menyenangkan hati Tuhan, karena pada saat itu kita sedang berterima kasih kepadanya.

Ada banyak hal sebenarnya yang sering membuat ekaristi kita membosankan, misalnya:

1. Kita tidak paham apa yang sebenarnya kita rayakan dalam perayaan ekaristi.

Perayaan ekaristi yang tidak kita pahami membuat perayaan ekaristi seperti menonton sebuah film berbahasa asing tanpa subtittle, padahal kita tidak tahu artinya. Sebagus-bagusnya sebuah film atau drakor, kita akan segera mengantuk ketika tidak memahami apa yang sedang terjadi.

2. Kita sudah terlalu akrab dengan Ekaristi

Jika kita memiliki teman dekat yang sering ketemu, kita tidak bisa mengharapkan bahwa setiap pertemuan akan menjadi pertemuan yang heboh dan menggemparkan. Pertemuan dengan teman lama yang sudah sering bertemu memang biasanya ya biasa-biasa saja, terkadang juga membosankan. oleh karena itu, tidak perlu merasa gelisah kalau Anda kadang merasa perayaan ekaristi membosankan, anggap saja kita sedang bertemu dengan teman dekat yang memang sudah sering bertemu.

Oleh karena itu, jika Anda sering mengalami kebosanan dalam Misa, Anda perlu mencari sebabnya, dan bukan mengubah/memodifikasi perayaan misa agar lebih meriah dan menyenangkan menurut Anda. Bukan itu tujuan utama Misa! 

Seorang santo dari Spanyol juga mengatakan, "You say the Mass is long and, I add, because your love is short." (Anda mengatakan Misa itu panjang dan, saya tambahkan, karena cinta Anda pendek.)


© Mysterium Fidei

#serispiritualitasekaristi

Untuk bergabung dengan grup 'Mysterium Fidei' (Info liturgi untuk umat), cukup klik di sini.


Rabu, 17 Januari 2018

Apakah Awam boleh berkhotbah dalam liturgi?




Ada sebuah pertanyaan:
Dalam sebuah misa penutupan suatu retret yang diadakan di hotel/villa, homili diisi dengan kesaksian peserta retret. Apakah ini sebuah pelanggaran liturgi? Apakah Awam boleh berkhotbah dalam liturgi?

Pertama-tama harus dibedakan antara Homili dan khotbah (preaching). Kan 767 par 1 menyatakan bahwa, "Di antara bentuk-bentuk khotbah, homililah yang paling unggul, yang adalah bagian dari liturgi itu sendiri dan direservasi bagi imam atau diakon"

Dari Kanon itu bisa ditarik kesempulan berikut:

Homili adalah :
1. salah satu bentuk khotbah
2. merupakan bagian dari liturgi
3. homilii hanya bisa dilakukan oleh Imam atau Diakon dalam perayaan Liturgi.

Kedua, Kanon 766 memberi peluang kepada kaum Awam untuk berkhotbah. Bunyinya, "Kaum awam dapat diperkenankan untuk berkhotbah di dalam gereja atau ruang doa, jika dalam situasi tertentu kebutuhan menuntutnya atau dalam kasus-kasus khusus manfaat menganjurkannya demikian, menurut ketentuan-ketentuan Konferensi para Uskup dengan tetap mengindahkan kan. 767, § 1." Kanon ini diperkuat dengan berbagai macam teologi yang bisa menjadi dasar kaum awam untuk berkhotbah. Misalnya: Kanon 225 par 1, LG 33, dan AG 21. Ingat bahwa ini adalah "berkhotbah" bukan berhomili.

Dari dua ketentuan ini bisa disimpulkan beberapa hal di bawah ini:

1. Homili adalah salah satu bentuk khotbah dalam liturgi, yang diberikan oleh kaum tertahbis, atau paling tidak dibacakan atas nama kaum tertahbis yang mempunyai otoritas. Jadi ketika seorang tertahbis berkhotbah dalam liturgi, ini disebut homili. Ketika seorang tertahbis berkhotbah di luar liturgi, ini tidak bisa disebut sebagai homili, karena tidak sesuai dengan ketentuan dalam kanon.

2. Lebih lanjut lagi,, Awam tidak bisa memberikan homili. Jika ada awam yang memberikan kesaksian dalam perayaan liturgi maka hal itu tidak bisa disebut sebagai HOMILI, melainkan hanya sebuah renungan, penjelasan Injil, kesaksian atau apapun itu namanya.

Oleh karena itu menurut saya implikasi liturgis yang bisa disimpulkan adalah:

1. Jika ada seorang awam yang membacakan sebuah homili yang ditulis oleh seorang klerus (misalnya: Romo Parokinya) karena ia berhalangan untuk menyampaikannya sendiri, maka hal ini tetap disebut sebagai homili karena naskah yang ditulis dipersiapkan oleh klerus yang mempunyai otoritas dan disampaikan dalam kesempatan liturgi. Misalnya: naskah homili buatan romo paroki yang dibacakan oleh asisten imam ketika mengantarkan komuni untuk orang sakit.

2. Seorang awam bisa berkhotbah sebagai tambahan dari homili imam/diakon pada hari minggu atau kesempatan-kesempatan tertentu. Praktik yang sering terjadi ialah imam selebran memberikan homilyang singkat sebelum awam memberikan khotbah/kesaksian/renungannya. Dalam kasus ini homili tidak dihilangkan, namun sekedar menambahkan kesaksian dari umat beriman dalam kesempatan-kesempatan khusus. (Misalnya: rekoleksi, retret, atau Misa Ulang Tahun Perkawinan, dsb).


Yang justru berpotensi menjadi pelanggaran liturgi menurut pertanyaan di atas adalah justru pelaksanaan Perayaan Ekaristi di luar tempat-tempat suci yang belum mengantongi ijin dari ordinaris local (Kanon 932). Namun untuk hal ini tidak akan di bahas dalam kesempatan ini.

Selasa, 12 Desember 2017

SEJARAH HARI RAYA NATAL




Banyak orang Katolik berpikir bahwa orang Kristiani merayakan kelahiran Kristus pada tanggal 25 Desember karena para Bapa Gereja menyesuaikan tanggal tersebut dengan tanggal perayaan sebuah festival pagan. Hampir tidak ada orang Katolik yang keberatan dengan pendapat ini, walaupun konsekuensinya adalah banyak orang yang menyamakan Hari Raya Natal dengan sebuah festival pagan yakni Festival Dewa Matahari.

Tulisan ini bermaksud menunjukkan sebuah fakta yang menarik untuk diketahui yakni bahwa pilihan tanggal 25 Desember adalah hasil usaha orang-orang Kristen awal untuk mengetahui tanggal kelahiran Yesus berdasarkan penghitungan kalender yang justru sama sekali tidak ada hubungannya dengan festival pagan.

Sebaliknya, festival pagan "Birth of the Unconquered Sun" yang dicanangkan oleh Kaisar Romawi Aurelian pada tanggal 25 Desember 274, hampir pasti merupakan upaya untuk menciptakan alternatif festival tandingan bagi tanggal yang sudah sangat penting bagi orang Kristiani.

Dengan demikian argumen bahwa Hari Raya Natal berasal dari sebuah Festival Pagan adalah mitos tanpa substansi sejarah.

Sebuah Kesalahan
Gagasan bahwa tanggal 25 Desember diambil dari perayaan pagan berasal dari dua orang ilmuwan dari akhir abad ketujuh belas dan awal abad kedelapan belas. Paul Ernst Jablonski, seorang Protestan Jerman, yang ingin menunjukkan bahwa perayaan kelahiran Kristus pada tanggal 25 Desember adalah satu dari sekian banyak "paganisasi" yang dibuat oleh Gereja Katolik.

Dalam kalender Julian, yang dibuat di bawah pemerintahan Julius Caesar pada 45 SM, titik balik matahari musim dingin jatuh pada tanggal 25 Desember, dan oleh karena itu tampak jelas bagi Jablonski bahwa hari itu pasti memiliki makna pagan sebelum menjadi perayaan orang Kristiani. Tapi sebenarnya, tanggal tersebut tidak memiliki makna religius dalam kalender perayaan Romawi sebelum masa Aurelian.

Kaisar Aurelian, yang memerintah dari 270 sampai pembunuhannya di tahun 275, sangat memusuhi orang Kristiani dan tampaknya telah mempromosikan penetapan festival "Kelahiran Matahari yang Tidak Terkalahkan" sebagai alat untuk menyatukan berbagai sekte pagan dari Kekaisaran Romawi.

Produk sampingan
Memang benar bahwa bukti pertama orang-orang Kristiani merayakan tanggal 25 Desember sebagai tanggal kelahiran Tuhan berasal dari Roma beberapa tahun setelah Aurelian, yakni pada tahun 336 AD, namun ada bukti dari Timur Yunani dan dunia Barat bahwa orang-orang Kristiani pada jaman sebelum itu sudah berusaha untuk mencari tahu tanggal kelahiran Kristus jauh sebelum mereka mulai merayakannya secara liturgis, bahkan sudah sejak abad kedua dan ketiga. Bukti menunjukkan, pada kenyataannya, bahwa penetapan tanggal 25 Desember adalah produk sampingan dari usaha untuk menentukan kapan orang Kristiani harus merayakan kematian dan kebangkitan Kristus.

Bagaimana hal ini bisa dijelaskan? Ada pertentangan yang tampak antara tanggal kematian Tuhan seperti yang diberikan dalam Injil Sinoptik dan Injil Yohanes. Injil Sinoptik berpendapat bahwa Kematian Yesus terjadi pada Hari Paskah (setelah Tuhan merayakan Paskah pada malam sebelumnya), dan sebaliknya Injil Yohanes berpendapat bahwa Yesus wafat pada Malam Paskah, saat anak-anak domba Paskah disembelih di Bait Suci Yerusalem untuk merayakan hari raya keesokan harinya.

Untuk dapat memecahkan masalah ini mau tidak mau kita harus berbicara soal perdebatan tentang Perjamuan Terakhir Tuhan adalah makan Paskah atau makan yang dirayakan sehari sebelumnya. Akan tetapi agar tidak terlalu luas, pembahasan tentang hal ini tidak akan dijelaskan dalam tulisan ini. Cukuplah dikatakan bahwa Gereja mula-mula mengikuti Injil Yohanes dan bukan Injil sinoptik, dan dengan demikian Gereja Perdana percaya bahwa kematian Kristus terjadi pada 14 Nisan, menurut kalender lunar Yahudi. Para ilmuwan modern sependapat bahwa kematian Kristus hanya bisa terjadi pada tahun 30 atau 33 Masehi, karena keduanya adalah satu-satunya tahun saat 14 Nisan itu jatuh pada hari Jumat. Jadi, kemungkinan besar tanggal kematian Yesus adalah 7 April 30 atau 3 April 33.

Namun, karena Gereja perdana dipisahkan secara paksa dari Yudaisme, maka Gereja Perdana harus memasuki sebuah dunia dengan kalender yang berbeda, dan harus memikirkan waktunya sendiri untuk merayakan Sengsara Tuhan, paling tidak untuk menjadi terlepas dari perhitungan rabbinik pada tanggal Paskah. Mereka tidak bisa lagi menggunakan kalender Yahudi karena kalender Yahudi adalah kalender lunar yang terdiri dari dua belas bulan, tiga puluh hari untuk masing-masing, yang setiap beberapa bulan ke tiga belas harus ditambahkan dengan sebuah keputusan dari Sanhedrin untuk menjaga kalender tetap sinkron dengan ekuinoks dan solstis, dan juga untuk mencegah musim "menyimpang" ke bulan yang tidak tepat.

Orang-orang Kristiani di Yunani tampaknya ingin menemukan tanggal yang setara dengan 14 Nisan dalam kalender matahari mereka sendiri, dan karena Nisan adalah bulan di mana equinox musim semi terjadi, mereka memilih hari ke 14 Artemision, bulan di mana equinox musim semi selalu jatuh dalam kalender mereka sendiri. Sekitar tahun 300 M, kalender Yunani digantikan oleh kalender Romawi, dan sejak tanggal permulaan dan akhir bulan di kedua sistem ini tidak bersamaan, 14 Artemision menjadi 6 April. Sebaliknya, orang kristiani di Roma dan Afrika Utara tampaknya berkeinginan untuk menetapkan tanggal historis di mana Tuhan Yesus mati. Mereka akhirnya menyimpulkan bahwa Yesus meninggal pada hari Jumat, 25 Maret 29. Sampai pada titik ini akhirnya Gereja Timur menetapkan kematian Yesus pada tanggal 6 April, sedangkan di Barat, 25 Maret. Mengapa berbeda? Sekali lagi, karena mereka memakai sistem kalender yang berbeda pula.

Usia Integral
Pada Jaman Kristus dahulu, ada sebuah kepercayaan bernama “Usia Integral” yang sangat tersebar secara luas dalam Yudaisme dan kepercayaan ini hidup dalam kesadaran orang-orang Kristen. Kepercayaan ini sangat berkaitan dengan nabi-nabi besar bangsa Yahudi. Mereka percaya bahwa nabi-nabi Israel meninggal pada tanggal yang sama dengan tanggal kelahiran atau tanggal konsepsi (pembuahan) mereka. Kepercayan “Usia Integral” ini adalah faktor kunci dalam memahami bagaimana akhirnya orang kristiani perdana mula-mula percaya bahwa tanggal 25 Desember adalah tanggal kelahiran Kristus. Orang-orang kristiani menerapkan gagasan ini kepada Yesus, sehingga tanggal 25 Maret dan 6 April tidak hanya merupakan tanggal kematian Kristus, tapi juga merupakan tanggal konsepsi Yesus. Ada beberapa bukti singkat bahwa setidaknya beberapa orang Kristen abad pertama dan kedua memikirkan tanggal 25 Maret atau 6 April sebagai tanggal kelahiran Kristus, namun pada akhirnya mereka menetapkan bahwa 25 Maret adalah tanggal konsepsi Kristus. Sampai hari ini secara universal bahwa pada tanggal 25 Maret Gereja Universal merayakan Hari Raya Kabar Sukacita, yakni ketika Malaikat Gabriel membawa kabar baik tentang kelahiran penyelamat manusai kepada Perawan Maria. Karena Fiat Maria yang berserah pada kehendak Firman Allah yang Kekal akhirnya Sabda segera berinkarnasi dalam rahimnya. Oleh karena itulah 25 Maret akhirnya menjadi saat Konsepsi (Pembuahan) Yesus.

Berapa lama kehamilan yang normal? Sembilan bulan. Maka kemudian, orang Kristiani menambahkan sembilan bulan dari 25 Maret dan akhirnya didapatkanlah tanggal 25 Desember. Jika kita menambahkan 9 bulan dari tanggal 6 April, maka kita akan mendapatkan 6 Januari.

Dengan demikian, ditetapkanlah tanggal 25 Desember adalah Natal, dan 6 Januari adalah Epifani. Natal (25 Desember) adalah Pesta Kelahiran Yesus untuk orang-orang Kristiani Ritus Barat. Di Konstantinopel ketetapan ini diperkenalkan pada tahun 379 atau 380 dalam sebuah khotbah St. Yohanes Krisostomus. Perayaan Natal ini pertama kali dirayakan di sana pada tanggal 25 Desember 386. Dari pusat-pusat kekristenan ini menyebar ke seluruh Asia Timur dan diadopsi di Alexandria sekitar tahun 432 dan di Yerusalem satu abad atau lebih kemudian. Sementara itu, orang-orang Kristiani dari ritus Armenia sampai hari ini merayakan kelahiran Kristus, kunjungan orang majus, dan pembaptisan Yesus pada tanggal 6 Januari.

Gereja-gereja Barat, pada gilirannya, secara bertahap mengadopsi pesta Epiphany (6 Januari) dari GEreja Timur, Roma melakukannya sekitar 366 dan 394. Namun di Gereja Barat, pesta tersebut pada umumnya dijadikan sebagai peringatan kunjungan orang majus ke bayi Kristus, dan karena itu, perayaan ini adalah sebuah pesta penting, tapi bukan salah satu yang paling penting – hal ini sangat bertolak belakang secara kontras dengan arti pentingnya di Gereja Timur, di mana hari ini menjadi pesta terpenting Gereja Timur yang kedua, setelah Pascha (Paskah).

Pesta Kristen
Jadi, penetapan tanggal 25 Desember menjadi tanggal kelahiran Kristus sama sekali tidak dipengaruhi oleh budaya pagan. Penetapan ini timbul dari usaha orang-orang kristiani awal untuk menentukan tanggal historis kematian Kristus.


Dan justru sebaliknya, pesta pagan yang dicanangkan Kaisar Aurelian pada tanggal 274 itu bukan hanya upaya untuk menggunakan titik balik matahari musim dingin untuk memperkuat kekuasaan politiknya, tapi juga hampir pasti merupakan usaha untuk memberi makna pagan kepada tanggal yang sudah menjadi tanggal penting bagi orang-orang kristiani di Roma dengan harapan bahwa orang-orang kristiani dapat kembali menjadi pagan.

PEMBERKATAN LINGKARAN ADVEN DALAM MISA




PENDAHULUAN

Penggunaan Lingkaran Adven adalah praktik tradisional yang biasa dilakukan di dalam gereja maupun juga di rumah. Berkat pada lingkaran Adven dilakukan pada hari Minggu Pertama Adven atau di malam hari sebelum Minggu Pertama Adven. Berkat itu bisa dirayakan selama Misa, perayaan Sabda, atau Ibadat Sore I.
Biasanya, Lingkaran Adven disusun dari sebuah rangkaian melingkar daun-daunan hijau yang diberi empat buah lilin. Menurut tradisi, Tiga lilin itu berwarna ungu dan yang keempat adalah merah muda. Namun, empat lilin ungu atau lilin putih juga bisa digunakan.
Lilin mewakili empat minggu masa Adven dan jumlah lilin yang menyala setiap minggunya menunjukkan Minggu Adven kebeapa yang sedang dirayakan. Lilin merah muda dinyalakan pada hari Minggu Adven Ketiga yang juga dikenal dengan Minggu Gaudete.
Jika Lingkaran Advent akan digunakan di gereja, lingkaran itu harus cukup ukurannya agar bisa dilihat oleh umat. Cara meletakkannya bisa digantungkan dari langit-langit atau diletakkan di atas dudukan. Jika ditempatkan di Panti Imam, sebaiknya peletakkannya tidak mengganggu perayaan liturgi, dan juga tidak menghalang-halangi altar, mimbar, atau kursi imam.
Saat Lingkaran Adven digunakan di gereja, pada Minggu Adven kedua dan seterusnya, lilin dinyalakan sebelum Misa dimulai atau segera sebelum Doa Pembuka (collecta). Tidak ada ritus atau doa tambahan untuk penyalaan lilin ini.

DOA PEMBERKATAN LINGKARAN ADVEN

Setelah Bacaan Injil, selebran dalam homili, berdasarkan teks kitab suci, menjelaskan arti perayaan tersebut. Kemudian setelah didoakan Bersama Aku Percaya, Doa Umat didoakan seperti biasa. Selebran menutup Doa Umat dengan DOA BERKAT LINGKARAN ADVEN ini.

I:   Kristus datang untuk membawa keselamatan kepada kita dan berjanji untuk datang lagi ke dunia ini. Mari kita berdoa agar kita bisa selalu siap untuk menyambutnya. Marilah kita Mohon….
U: Kabulkankan Doa Kami, Ya Tuhan
I;   Semoga dengan merayakan Adven ini, hati kita semakin terbuka akan cinta Tuhan. Marilah kita Mohon….
U: Kabulkankan Doa Kami, Ya Tuhan
I:   Semoga Cahaya Kristus menembus kegelapan dosa kita. Marilah kita Mohon….
U: Kabulkankan Doa Kami, Ya Tuhan
I;   Semoga lingkaran Adven ini senantiasa mengingatkan kita untuk mempersiapkan kedatangan Kristus yang kedua. Marilah kita Mohon….
U: Kabulkankan Doa Kami, Ya Tuhan
I:   Semoga Masa Natal ini mengisi hati kita dengan damai dan kegembiraan dalam mengikuti teladan hidup Yesus. Marilah kita Mohon….
U: Kabulkankan Doa Kami, Ya Tuhan

Dengan tangan terulur, selebran mendoakan Doa Berkat:

Tuhan Allah,
GerejaMu dengan penuh sukacita menantikan kedatangan penyelamat kami,
yang telah mengusir kegelapan dosa.
Limpahkanlah berkat-Mu atas kami,
Semoga dengan menyalakan lilin pada lingkaran adven ini,
kami melihat juga kegemilangan terang Kristus yang bercahaya.
Ini semua kami mohon dengan pengantaraan Kristus Tuhan kami.
Amin.

Atau

Tuhan Allah kami,
Kami memuji-Mu karena Engkau telah menganugerahkan Putra-Mu, Yesus Kristus, kepada kami
Dialah Sang Immanuel, pembawa harapan semua manusia
Dialah Sang Kebijaksanaan yang mengajar dan menuntun kami
Dialah Sang Penyelamat semua bangsa.

Tuhan Allah,
Curahkanlah berkat-Mu atas kami,
Yang hendak menyalakan lingkaran Adven ini.
Semoga lingkaran Adven dan cahaya lilinnya
Menjadi tanda janji Kristus untuk membawa keselamatan bagi kami.
Semoga Ia datang dengan segera dan tidak berlambat.
Ini semua kami mohon dengan pengantaraan Kristus Tuhan kami.

Amin.

Lingkaran Adven bisa diperciki dengan Air Suci. Lalu Lilin pertama bisa dinyalakan.


MENGAPA ADA BANYAK SEKALI MISA NATAL?




Pertanyaan
Di banyak paroki kita terbiasa merayakan Perayaan Ekaristi untuk Hari Raya Natal sebanyak 2 kali, yakni: Misa Malam Natal (24 Desember Malam) dan Misa Natal (25 Desember). Oleh karena itu, mungkin ada sebagian dari kita yang kebingungan ketika melihat dalam teks misa ada yang disebut Misa Vigili, Misa Natal Tengah Malam, Misa Natal Fajar dan Misa Natal Siang. Apa maksud teks-teks ini? Mengapa ada begitu banyak Misa Natal?  Bagaimana cara memilih rumusan teks yang tepat?

Latar Belakang sejarah
Tradisi merayakan tiga kali Misa pada Hari Natal sudah dimulai sejak dulu. Orang-orang Kristen di Yerusalem menghadiri Misa pada tengah malam di Gua Kelahiran Yesus di Betlehem. Kemudian, mereka kembali ke Yerusalem dan saat fajar menyingsing (jam kebangkitan) menghadiri Misa kedua di Basilika Kebangkitan (Basilica of the Resurrection). Di Roma, kebiasaan serupa juga terjadi. Misa tengah malam dirayakan di Gereja Santa Maria Maggiore (tempat palungan Yesus berada); Misa Natal Fajar, di gereja St. Anastasia; dan Misa Natal Siang yang ketiga, di Basilika Santo Petrus. Ketiga Misa tersebut dipenuhi dengan pemikiran tentang teologi kelahiran Kristus. Berikut ini kita akan melihat sedikit teologi dibalik setiap Misa.

Struktur Perayaan
Struktur dari empat Misa itu sebenarnya tak ada yang istimewa; wajar saja seperti Misa Hari Raya atau Hari Minggu Biasa. Dalam buku Misale Romawi berbahasa Latin tidak kita temukan struktur khusus untuk Misa Natal. Misale Romawi hanya menyediakan antifon, doa pemimpin, dan penjelasan seperlunya. Daftar bacaan pun dicantumkan terpisah dalam buku Tata Bacaan Misa dan setiap bacaannya dimuat dalam Leksionarium. Bacaan-bacaan untuk empat misa Natal itu berbeda. Teks-teks liturgis dari setiap Misa itu menegaskan kekhasan masing-masing Misa.

"Esok Pagi Engkau akan melihat Kemuliaan Tuhan" (Vigili Natal)
Misa Vigili Natal pada tanggal 24 Desember ada di antara akhir zaman Adven dan kedatangan Kristus dalam daging. Gereja merasa bahwa cara yang paling baik untuk mengisi masa penantian ini ialah dengan merenungkan silsilah Yesus. Betapa menggetarkan daftar leluhur Kristus ini! Betapa jelas silsilah itu menunjukkan bahwa Yesus adalah benar-benar manusia, benar-benar salah satu dari kita manusia, anak Daud (Matius 1: 1-25)! Pada saat yang sama, Gereja tampaknya khawatir bahwa penekanan teologis ini mungkin memupuk pandangan yang terlalu manusiawi tentang Kristus. Oleh karena itu Gereja melanjutkannya dengan kata-kata yang diucapkan malaikat kepada Santo Joseph, "Yusuf, anak Daud, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai isterimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus."(Mat 1: 20). Yesus adalah Emmanuel: "Tuhan bersama kita." Dengan kata-kata ini ditambahkan ke silsilah, kita memiliki gambaran Kristus yang utuh sesuai dengan kenyataan penuhnya, yakni bahwa Dia adalah Allah yang berinkarnasi. Dengan kedatangan Kristus, sebuah sejarah penantian yang panjang telah berakhir. Namun apakah ini benar-benar sebuah akhir? Atau justru merupakan awal dari sejarah baru? Sejarah dunia yang diperbaharui dan orang-orang yang menemukan kehidupan baru..

“Hari ini Aku telah memperanakkan-Mu” (Misa Natal Tengah Malam)
Mengapa disebut Misa Natal Tengah Malam? Karena Misa ini memang pada mulanya dilakukan persis pada waktu tengah malam (24 Desember menuju 25 Desember). Mengapa ada misa tengah malam ini? Pada mulanya Gereja ingin menghayati Tradisi bahwa Yesus lahir pada waktu malam seperti kesaksian yang dapat kita temukan dalam Lukas 2:8 yang menyebutkan bahwa Yesus lahir saat dini hari atau tengah malamOleh karena itulah kemudian muncul lagu Malam Kudus yang ingin menggambarkan suasana kelahiran Yesus pada waktu malam yang sunyi senyap karena umumnya orang sedang tertidur jam-jam itu. Unsur spesial dalam perayaan ini adalah adanya Maklumat Natal (Kalenda) yang dinyanyikan sebelum perarakan atau sesudah perarakan sampai di depan Altar sebelum bayi Yesus diletakkan di kandang Natal dan didupai.

Kita tidak boleh menyalahartikan semangat sebenarnya dari kisah kelahiran Kristus yang dibaca di dalam Injil di Misa Natal Tengah Malam (Lukas 2: 1-14). Arti sebenarnya dari Injil ditunjukkan oleh dua bacaan yang mendahuluinya: Yesaya 9: 2-7, yang mengatakan bahwa seorang anak diberikan kepada kita, dan Titus 2: 11-14, yang mengatakan bahwa kasih karunia Allah telah telah diwahyukan untuk keselamatan seluruh umat manusia. Tema utama dari perayaan ini juga diungkapkan dalam Alleluia yang menyertai prosesi Injil: "Aku memberitakan kabar gembira yang besar kepadamu: Hari ini Juruselamat dilahirkan untuk kita." Pesan yang sama juga dinyanyikan dalam mazmur tanggapan setelah bacaan pertama. Seluruh bumi menyanyikan lagu baru untuk Tuhan; kemuliaan-Nya diproklamasikan kepada bangsa-bangsa dan bangsa-bangsa, karena "Ia datang untuk menghakimi bumi" (Mzm. 96: 13).

Secara praktis, dengan demikian, setelah merayakan Misa Malam Natal ini kita bisa mengucapkan Selamat Natal karena memang Perayaan Natal sudah dimulai. Namun, kendala pastoral yang terjadi adalah ketika Perayaan Natal Tengah Malam ini dimajukan demi kenyamanan umat yang karena alasan jarak dan kemudahan transportasi tidak memungkinkan untuk merayakan Misa Natal pada jam 12 tengah malam. Oleh karena itulah saat ini banyak kita jumpai bahwa Misa ini digeser pada sore hari. Di Vatican sendiri, akhir-akhir ini Paus pun memajukan perayaan Christmas Eve ini hingga jam 21.15 demi alasan pastoral ini. Banyak ahli liturgi yang masih memperdebatkan hal ini tetapi ada baiknya jika memang tiap paroki mempertimbangkan realitas pastoral dan nilai teologis yang ingin dirayakan.

“Cahaya akan bersinar bagi kita hari ini” (Misa Natal Fajar)
Kemeriahan teks dan nyanyian di Misa Natal Tengah Malam diikuti oleh visi penuh sukacita yang memberi hidup dalam Misa Natal Fajar. Misa ini memancarkan cahaya dari Juruselamat yang baru lahir. Lukas melanjutkan kisahnya tentang para gembala yang segera mencari tahu apa yang telah terjadi dan apa yang Tuhan ingin mereka ketahui. Mereka ingin melihat, dan "melihat" dalam konteks ini berarti untuk menyaksikan kasih Allah pada manusia. Kemuliaan Allah sangat terkait dengan kedamaian di bumi yang berasal dari kehendak Tuhan yang datang untuk menyelamatkan umat manusia. Sukacita yang memenuhi pesan kepada para gembala diramalkan dalam Yesaya (62: 12).

“Seorang Anak yang baru lahir adalah Sang Pembawa Sabda dari Allah” (Misa Natal Siang)
Prolog St. Yohanes (1: 1-18) dipilih sebagai bacaan Injil untuk menggarisbawahi bahwa anak kecil yang lahir bagi kita ini adalah Firman Allah, Firman Allah yang menjelma menjadi manusia. Inilah yang Yohanes Pembaptis katakan. Sekarang setelah Firman ini menjadi daging, seluruh dunia akan melihat keselamatan Allah kita, inilah tema bacaan pertama (Yesaya 52: 7-10). Surat kepada orang-orang Ibrani kemudian menyebutkan bahwa setelah berbicara dengan banyak cara lain, Tuhan akhirnya berbicara melalui Putra-Nya yang telah Dia utus di antara kita (Ibr 1: 1-6).

Bagaimana cara memilih Teks?
Tentu tidak dilarang jika ada paroki yang akan merayakan 4 Misa Natal tersebut secara utuh. Setiap imam boleh merayakan semua Misa itu, entah sebagai selebran atau konselebran. Tentu juga tidak dilarang jika umat mau hadir dalam tiga atau empat Misa itu.

Namun biasanya, di sebuah paroki hanya dirayakan satu kali Misa pada tanggal 24 Desember sore dan beberapa kali misa pada tanggal 25 Desember. Untuk itu sebaiknya formula misa yang digunakan untuk tanggal 24 Desember adalah rumusan Misa Natal Tengah Malam (dan bukan Misa Vigili Natal), agar umat sudah bisa ikut merayakan Misteri Inkarnasi Yesus Kristus pada hari itu. Dan untuk Misa tanggal 25 Desember bisa digunakan kedua rumusan yang lain, yakni Misa Fajar atau pun Misa Siang, disesuaikan dengan waktu ketika Misa dirayakan. Sesudah setiap Misa itu berakhir kita dapat saling mengucapkan selamat karena keempat Misa itu sudah terhitung dalam Hari Raya Natal. Jadi, tak perlu menunggu sampai berganti hari yakni 25 Desember. Selamat Natal! Semoga Damai Natal Bersama Kita!